Ferguson, Diktator Yang Dipuja

Six News and Sport --- “Dalam bisnis, saya harus menjadi seorang diktator atau tidak akan memiliki kesempatan sama sekali,” begitulah ucapan Brian Clough, sebelum menjadi seorang manajer legendaris pada tahun 1995. Mungkin keyakinan ini jugalah yang dianut oleh Ferguson selama melatih di Manchester United.

Bahkan dibeberapa kesempatan Ferguson terlihat memegang buku tentang Adolf Hitler, buku yang banyak menyorot tentang kepemimpinan ide utopis yang berakhir dengan bencana social, karya Robert Gallatelly, penulis yang juga profesor sejarah di Florida State University, As yang berjudul The Age of Social Catastrophe.

Hitler terkenal dengan sosok yang fasisi dan keras terhadap pasukannya, walau demikian Hitler selalu ingin orang lain yang membuat keputusan bukan dirinya. Meski seorang diktator Hitler tetap saja ingin menjadi sosok yang dicintai rakyatnya.

Sepertinya sugesti itulah yang diterapkan Alex Ferguson selama kepemimpinannya di Old Trafford. Walau ia adalah sosok pelatih yang terkenal keras dan bersikap bak diktator, toh ia tetap dicintai dan dipuja para pemainnya dan supporter “Iblis Merah”.

Tanpa Ferguson, Manchester United mungkin tak akan sedigdaya sekarang ini. Bisa saja Man. United masih akan terus berada di bawah bayang-bayang seteru abadi mereka, Liverpool dan Arsenal. Sikap Diktator Ferguson benar-benar berhasil menyulap MU menjadi klub yang tersukses di Inggris.

Mungkin saja andai Ferguson tak datang ke Old Trafford, kebiasan buruk para pemain Man. United yang gemar mabuk-mabukan belum sembuh sampai sekarang.

Saat pertama melatih Manchester United diakhir tahun 1986, masalah yang harus dihadapai oleh Alex Ferguson tidaklah ringan. Kala itu banyak pemain MU yang bersatus pemabuk. Menenggak minuman keras seolah sudah menjadi budaya di United kala itu.

Norman Whiteside dan Bryan Robson, pemain yang seharusnya menjadi pilar tim, justru turut menjadi pesakitan. Kebugaran para pasukan “Iblis Merah” amat buruk. Namun setelah kedatangannya, kebiasan buru ini langsung diubah Ferguson. Level kedisiplinan di markas United ditingkatkan. Latihan pun digelar di pagi hari. Ferguson kerap datang lebih awal ke tempat latihan dari para pemainnya.

Kebiasaan Ferguson ini memaksa para pemain berusaha agar tidak terlambat datang ke tempat latihan. Hal ini membuat pemain enggan menghabiskan malam dengan mabuk-mabukan karena dituntut harus dalam keadaan bugar saat latihan.

Tak pelak markas United pun berubah bagaikan sebuah asrama. Tak ada lagi pemain yang berkeliar di malam hari. Saat pemain mendapatkan waktu libur. Ferguson memerintahkan staf kepelatihannya untuk mengawasi kegiatan mereka di luar. Terutama bagi pemain yang merupakan biang mabuk.

Sekali ketahuan minum berlebihan, maka tak pelak hukuman dan denda tidak dimainkan dalam laga berikutnya sudah menanti.
Pelan-pelan cara diktator yang digunakan pria asal Skotlandia itu mampu merubah situasi di United. Ferguson membutuhkan waktu tiga tahun untuk membuat budaya mabuk yang ada di timnya benar-benar lenyap.

Metode kepemimpinan diktator ala Ferguson tak berhenti sampai disitu, namun masih terus berlanjut hingga sekarang ini. Satu hal yang ditegaskan oleh Fergi kepada para pemain, bahwa dirinya adalah bos, bukan pemain seperti mereka.

Pemain bintang sekalipun bila tak mau menerima gagasannya harus terlempar dari tim seperti yang dialami oleh David Beckham dan Nistelroy. Namun dibalik itu justru karena sikap otoriternya lah sehinga MU mampu melahirkan banyak pemain-pemain berkelas.

Sekeras apapun sikap Sir Alex Ferguson selama menangani MU toh, dia mampu membuktikan bahwa ketegasaan yang diterapkannya berbuah manis. Berkat sikap ala diktator itulah sehingga MU kini menjadi klub tersukses di Inggris.

Bahkan selama era EPL yang sudah berlangsung 18 musim “Iblis Merah” menjadi tim yang paling banyak mengoleksi gelar juara dengan torehan 11 tropi. Kini MU telah menyamai rekor Liverpool menjadi tim pemegang tropi EPL terbanyak yakni 18 tropi. Belum lagi sederet tropi lainnya yang berhasil dipersembahkannya untuk “Iblis Merah”.

Satu rekor kesuksesan Fergi bersama MU yang sulit disamai oleh pelatih lain di Liga Inggris adalah gelar trable winner yang berhasil dihadirkannya di Old Trafford pada musim 1998/99.

Perpaduan antara kejeniusan Ferguson dan paham diktator Hitler yang dianutnya telah berhasil membentuk sebuah tim yang digdaya. Sepertinya ini sudah cukup menjadi alasan bagi Ferguson mengapa ia harus bersikap diktator dalam memimpin timnya.

Ferguson telah membuktikan bahwa sikap diktator tak selamanya akan membawa bencana namun justru sebaliknya. Sekeras apapun Ferguson, namun ia tetap dicintai dan dipuja oleh pemain serta suporter Manchester United.

Rivalitas Dengan Para Jenius Lain

Sikap keras Ferguson tak hanya berlaku kepada para pemainnya, tetapi juga kepada tim lawan. Fergi Seakan mamahi betul bahwa kesuksesan tidak dapat diraih bila ia hanya bersikap tegas terhadap para pasukannya, namun kepada lawan pun hal serupa harus diterapkan.

Sir Alex seolah menggunakan watak kerasnya untuk membuat ciut nyali lawan. Mind Games! Begitulah sebutan para wartawan di Inggris terhadap Ferguson setiap kali mengawal pesukannya berlaga. Ferguson seolah mengajak manager tim lawan mencari arena sendiri untuk bertempur.

Komentar yang kerap merendahkan lawan saat jumpa pers sebelum pertandingan adalah hal yang biasa keluar dari mulut Fergi.
Arsene Wenger, Jose Mourinho, Rafael Benitez, Kevin Keegen, Robert Martinez, hingga Mark Huges pernah merasakan bagaimana rasanya pertarungan ala Ferguson.

Dominasi Fergi di dunia sepak bolak Inggris yang sudah terlanjur mengakar mengundang kecemburuan dari para rivalnya. Arsen Wenger misalnya, pernah mengkritik perlakuan istimewah pengelolah liga terhadap Man. United mengenai jadwal pertandingan. Menurut Wanger pasukan Sir Alex sengaja diberikan waktu istirahat lebih agar bisa memenangi semuanya.

Begitu juga dengan Mourinho, Benitez, Martinez, dan Kevin Keegen. Para rival ini silih berganti berusaha menjatuhkan rezim Fergi di Liga Inggris. Murinho bahkan menyebut kedudukan Ferguson di Inggris melebihi Ratu Elizbeth sehingga tak ada yang bisa mengusiknya.

Hal yang nyaris senada juga diungkapkan Rafel Benitez dan Robert Martinez, yang menyebut pengaruh Fergi yang terlalu besar dalam sepak bola Inggris membuat FA sulit menjatuhkan hukuman terhadapnya, meskipun pria Skotlandia itu melakukan kesalahan yang fatal.

Lain lagi dengan Kevin Keegen, saat melatih Newcastle, Keegen bersumpah akan menikmati kejatuhan United suatu saat nanti. Namun apa yang diharapkan Keegen tak kunjung datang. MU justru semakin superior sementara timnya justru semakin terpuruk, hingga berakhir dengan pemecatan dirinya.

Jose Mourinho, Rafael Benitez, Kevin Keegen, Roberto Martinez, dan Mark Huges harus menelan pil pahit, ditendang dari klub yang ditangainanya sebelum memenangkan pertikaian dengan Fergi. Hal yang menarik adalah salah satu alasan sosok-sosok tersebut dipecat dari klub masing-masing karena kalah perang melawan Siar Alex.
Ini seakan menjadi pertanda bahaya bagi para pelatih di Liga Inggris agar menghindari perseteru dengan Ferguson. Bila tidak mereka akan mengalami hal yang sama seperti Mourinho cs.

Praktis kini tersisa Arsene Wanger seorang yang masih bertahan di klubnya. Namun pertikaian dengan Ferguson seakan telah memudar seiring prestasi Arsenal yang tersu jeblok. Fergi tak lagi menganggap Wenger sebagai rivalitas berat.

Ditengah dominasi Ferguson, kini harapan para rival lama disandangkan pada pundak pelatih Italia, Roberto Mancini yang baru memasuki musim ketiganya di Inggris. Mereka diharapkan mampu meruntuhkan rezim Ferguson yang telah mengakar di negeri ratu Elizabeth itu.

Sejauh ini sepak terjang Roberto Mancini bersama Manchester City cukup menjanjikan. Namun ia masih harus membuktikan kapasitasnya lebih jauh lagi. Mancini harus mampu menghadapi tekanan yang lebih besar. Apalgi jika pemilik klub mulai campur tangan terkait perekrutan pemain.

Fergi sendiri di MU bertindak bak “raja”. Pemilik klub, Malcolm Glazer yang merupakan pebisnis murni bukanlah orang yang gemar sepak bola. Sehingga ia memberi kuasa penuh kepada Ferguson guna menutupi kekurang pahamannya tentang dunia kulit bundar. Berharap kekuatan “Iblis Merah” akan melemah dengan sendirinya seiring menuanya usia Ferguson sama saja dengan menghapkan pengaruh uang akan hilang dari aspek kehidupan.

Memang tak mudah untuk menjatuhkan rezim yang telah bertahan puluhan tahun lamanya. Tim-tim lain membutuhkan seseorang yang lebih jenius dari Fergi untuk bisa meruntuhkan dominasi pria Skotlandia itu dari Liga Inggris. Namun siapakah yang mampu melakukannya? (Six News and Sport/ Arjuna, dari berbagai sumber)