Kartu Pers Kenangan

Six News and Sport --- Reportasenya keras. Pernah nginap di Rumah Sakit Jiwa. Ia diteror, takut, hilang dan akhirnya tewas mengenaskan.

Tak pernah ada yang menduga jika kemudian ia akan mengalami nasib tragis. Tidak teman dekatnya. Bukan juga keluarganya. Ia menghilang dua hari dan akhirnya ditemukan tewas membiru. Tubuhnya didamparkan arus Kali Maro yang begitu deras.

Namanya Ardiansyah Qomar Wibisono Matra’is, jurnalist yang malang melintang tiga tahun di banyak media. Ia memang masih baru dalam dunia pers. Pertama masuk di Tabloid Mingguan Papua Fokus pada pertengahan tahun 2008. Kali pertama dimana ia mengenal jurnalistik dan mulai belajar membuat berita. Di Papua Fokus, Ardi panggilan akrabnya juga belajar mengedit dan memotret.

Pindah dari tabloid asal Merauke itu, bapak dua anak ini langsung tancap gas sebagai wartawan lepas di ANTV, media swasta nasional pada akhir 2008. Pada awal 2009, Ardi bergabung dengan Majalah Foja di Jayapura dan selanjutnya di Top TV, TV-nya orang Papua.

Sekitar Maret 2009, Ardiansyah diterima menjadi wartawan Tabloid Mingguan Jujur Bicara (JUBI). Disinilah kisah tragisnya dimulai. Teror mulai berdatangan dan ketakutan menyusup perlahan. Ia sempat terkejut saat mengetahui selama di JUBI, ia bekerja dengan intelejen yang menyamar sebagai layouter. Rasa was-was itu sebelumnya tak terlihat saat ia bekerja di Tabloid Mingguan Papua Fokus bersama seseorang yang juga menyamar menjadi wartawan. Randy, polisi yang menyamar itu juga terlibat bersamanya didalam organisasi pers lokal, Titik Nol.

Namun tidak ada yang menyangka, jika lelaki 29 tahun itu bisa membuat sesuatu yang berbeda. Ia berpikir, jika suatu saat ia mati, maka kematiannya harus berguna bagi banyak orang. “Sifatnya memang keras, dia tidak mau kalah kalau berdebat. Itu membuat dirinya semakin baik dalam bekerja, pernah ia mengungkap kasus yang melibatkan pelajar di Merauke dalam pembuatan video porno,” kata Lasarus Gon, karibnya.

Pagi itu, di akhir Januari 2010, seperti biasa ia mengemas peralatan liputan. Ia berencana ke Arso, Kabupaten Keerom untuk meliput aktivitas warga. Hari itu menjadi awal dimana dirinya mulai berubah. “Dia sempat bercerita, akibat liputannya itu, dia diteror. Kami berpikir benar ia diteror saat itu,” kata Uky, kakak Ardiansyah di Merauke.

Reportase di Arso tidak lagi pada aktivitas warga. Ia meliput banjir bandang di Sungai Kabur yang membawa sisa hasil tebangan liar di wilayah itu. Ribuan log kayu terbawa arus dan terdampar dibawah jembatan Arso. Hasil liputan ini dimuat di JUBI TV dengan durasi 3 menit 3 detik. Banjir terjadi akibat hujan yang mengguyur Arso dari Senin malam, 25 Januari hingga Selasa, 26 Januari 2010.

Reportase itu belakangan membuat dirinya ketakutan. Ia pernah mengatakan kalau hasil liputan itu sangat berbahaya. Pasalnya, sisa tebangan merupakan ulah mereka yang bekerjasama dengan oknum di jajaran kepolisian untuk mencari untung. “Ia pernah menceritakan itu ke keluarga, itu membuatnya menjadi takut,” ujar Wulistilahwati, istri Ardiansyah.

Sebelum itu, Ardiansyah pernah meliput aksi penaikan Bendera Bintang Kejora di halaman Kantor Majelis Rakyat Papua, 16 November 2009. Saat itu sepuluh pendemo dipimpin Sem Yaru, sekitar pukul 11.30 WIT membawa bendera Bintang Kejora berukuran kurang lebih 50 x 80 cm. Polisi mengamankan Sem Yaru bersama seorang rekannya di Polresta Jayapura.

Seperti reportase banjir bandang, penaikan bendera Bintang Kejora juga membuatnya cemas. Hasil liputan ditahan hingga sehari baru kemudian di upload ke internet. Ia berpikir penaikan bendera itu karena ada skenario politik sehingga tak layak diliput wartawan.

Keraguan atas sebuah liputan memang selalu datang. Begitu pula saat meliput rusaknya sumber air bersih di Campwalker di Abepura. Ia gembira tapi juga khawatir akan terjadi sesuatu padanya. Liputan Campwalker menandai awal dirinya bekerja di tabloid JUBI sekitar Maret 2009. “Pihak keluarga hanya berpikir jangan-jangan karena liputannya, ia diteror dan akhirnya stress,” kata Wulistilahwati.

Selama di Tabloid JUBI, Ardiansyah sangat luwes dengan siapa saja. Ia mengenal Ayub Sharullah, intelejen yang menyusup, juga Sonny Harseno, seseorang yang oleh Ardiansyah dianggap sebagai bagian dari Badan Intelejen Negara (BIN). Sonny atau Conny masuk ke Tabloid JUBI dua minggu sebelum keluarnya Ayub alias Syahdan Wayan sekitar pertengahan Januari 2010. Kedekatannya dengan Conny membuatnya semakin stress. Ia pernah mengatakan ingin pulang ke Merauke karena sudah tak tahan lagi bekerja sebagai journalist.

Saat dengan Harseno, Ardiansyah sempat diajak untuk meliput pembalakan liar di Kabupaten Sarmi, Papua. Saat itu ia mengiyakan. Namun beberapa hari kemudian, rencana liputan itu dibatalkan karena perjalanan ke Sarmi begitu jauh. Dari keterangan Harseno, Ardiansyah mengetahui bahwa hutan Sarmi kerap dijadikan tempat aktivitas illegal loging.

Ardiansyah juga memiliki hubungan dekat dengan seorang wanita bernama Dede. Dede kuliah di Universitas Cenderawasih, Fakultas Hukum. Kedekatan mereka berawal saat pelatihan jurnalistik oleh Tabloid JUBI di Bulan Juni 2009.

Ardiansyah pernah menyebut Dede sebagai intelejen yang menyamar untuk mengorek informasi darinya. Meski pernyataan itu kemudian diklarifikasi Ardiansyah karena melontarkannya dalam keadaan marah. Hubungan dengan Dede hingga Maret 2010.

Sebagai wartawan JUBI, Ardiansyah menangani TV website. Pekerjaan yang melelahkan tapi juga beresiko. Dalam sebulan, sedikitnya empat video dinaikan Ardiansyah ke website www.tabloidjubi.com. Pekerjaan itu menjadikan dirinya terus berada dilapangan untuk mencari fakta. Disitulah ia mulai dikuntit orang tak dikenal. Ia kemudian menjadi stress.

Dalam kondisi labil, ia tetap mengorek informasi. Namun diakhir 2009, ia mulai bersikap aneh. Setiap pemberitaan JUBI, selalu dibandingkan dengan media lain. Ia tak lagi menjadi Ardiansyah yang dulu. Dari pengakuannya, ia selalu diteror. Namun bukti atas teror sulit ditunjukkan. Ia hanya memperlihatkan sebuah pesan singkat yang berbunyi, “Jika tak segera pulang, anakmu akan berada dalam peti mati”. Iapun depresi dan akhirnya pulang ke Merauke di pertengahan Februari 2010.

Masa-masa sulit dilalui Ardiansyah setelah kembali dari Merauke akhir Februari 2010. Ia jarang turun lapang. Tiap harinya hanya dikantor JUBI dan merenung sendirian. Liputannya untuk TV Website JUBI juga berkurang. Sebulan hanya satu sampai dua kali. Kondisi itu diperparah dengan hubungannya bersama Dede mulai tak harmonis. Mereka tiap hari bertengkar.

Ardiansyah akhirnya benar-benar depresi. Selama kurang lebih tiga hari dikantor JUBI, ia tak makan dan tidur. Matanya memerah, dan tubuhnya lemas. Ia hanya bisa tertunduk dan menangis. Dalam sebuah pertemuan kru tabloid JUBI bersama Ardiansyah, ia juga tak banyak bicara. Sebuah kalimat sempat terlontar dari mulutnya. “Saya hanya ingin masalah ini berlalu dari saya, saya ingin semua melihat saya bahwa saya benar-benar diteror,” ujarnya.

Ardi kemudian pergi ke kerabatnya di Kotaraja, Abepura. Ia tinggal disana hingga empat hari. Disitu, sifatnya benar-benar berubah. Ia menjadi sangat sensitif, perasa dan ingin mati. “Kalian semua yang membuat saya begini, saya itu diteror untuk kepentingan yang lebih besar, saya tahu saya pasti mati,” ucapnya didepan kru JUBI di Kotaraja.

Selang sehari setelah dibawa ke dukun untuk diobati, Ardiansyah akhirnya dimasukan ke Rumah Sakit Jiwa Abepura selama tiga hari. Menurut keterangan dokter, Ardiansyah mengalami depresi berat. Ia dipulangkan dan disarankan untuk rawat jalan. Ibu dan istrinya yang juga datang ke Jayapura untuk melihat keadaannya nyaris tak percaya. Lis bertanya mengapa semua itu dialami suaminya. Pertanyaan itu belum terjawab hingga kini. “Bagaimana dengan Ardi, dulunya ia tidak seperti itu, kenapa sekarang ia berubah?” kata Wulistilahwati.

Ardi langsung dipulangkan ke Merauke setelah dikeluarkan dari RS Jiwa Abepura awal April 2010. Setumpuk obat dibawa Wulistilahwati untuk diberikan pada Ardi nanti di Merauke. Saat itu Dede hanya bisa menangis. Ia dimarah keluarga Ardiansyah untuk tidak lagi menghubunginya.

Di Merauke, ternyata perilaku Ardiansyah tidak berubah. Ia ingin bunuh diri dengan menggunakan pisau. Ia juga pernah ingin meminum obat dalam jumlah banyak. Ayahnya, Suratno hanya bisa menggeleng. “Saya itu sebenarnya tidak tahu apa yang terjadi, yang saya tahu, ia dulu baik-baik saja, tidak seperti sekarang,” ujarnya.

Beberapa pekan setelah normal, Ardi melamar di Merauke TV sebagai wartawan lepas. Ia sempat meliput meski hanya seminggu. Satu liputan yang sempat ditayangkan adalah tentang rencana pembangunan pelabuhan perikanan di Merauke. “Dia pernah bilang supaya jangan liputan yang berat-berat karena dia takut, dia hanya ingin yang ringan-ringan saja,” kata Abdulsyah, rekannya di Merauke.

Lepas dari Merauke TV, Ardi hanya berdiam diri dirumah. Selama kurang lebih dua bulan ia tidak bekerja. Sifatnya juga perlahan berubah. Ia tidak lagi ingin bunuh diri. Ia lebih suka didalam kamar dan berdoa. “Ia juga ingin jadi penulis, tapi yang selalu ditulisnya itu soal alam gaib, ini membuat saya heran,” kata Wulistilahwati.

“Kami merasa ada yang aneh selama ia tinggal dirumah, ia mulai rajin shalat dan berpuasa,” ujar Uky, kakak Ardiansyah.

Selama berada dirumah, Ardi pernah didatangi temannya dari Malang, Jawa Timur. “Iya, pernah datang, tapi tidak sering, ini juga yang kita curiga,” kata Ibu Matra’is, mamanya Ardi. Orang tak dikenal itu belakangan diketahui lewat paranormal tinggal di gang Tidore, Merauke.

Ardiansyah juga kerap dikirim pesan singkat yang selalu dihapusnya. SMS dan telepon dari orang tak dikenal datang sekitar dua minggu sebelum dirinya dilaporkan menghilang. Sementara kontak dengan Dede tak pernah lagi sejak dinyatakan putus. Dede pernah menghubungi Ardi diakhir Mei. “Pernah ada orang SMS dinihari, tapi itu juga dihapusnya, mungkin dia takut keluarga mengetahui ada yang menerornya,” kata Wulistilahwati.

Hari itupun tiba. Pagi ditanggal 28 Juli 2010, Ardiansyah mengantar kedua anaknya ke sekolah, Yudha dan Putri. Tak ada firasat dari Wulistilahwati jika hari itu bakal terjadi sesuatu yang buruk. “Saya anggap biasa saja, saya tidak punya firasat apa-apa. Cuma dalam beberapa hari terakhir, Ardi lebih suka tidur disamping ibunya, bukan dengan anak-anak,” ujarnya.

Sepulang menjemput kedua anaknya dari sekolah, siang sekitar jam sebelas, Ardi terlihat gelisah. Ia berjalan mondar mandir dalam rumah sambil melipat tangan. Ayahnya menegurnya dan bertanya, “Di, ada apa? kalau dingin, pakai jaket aja,” kata Suratno, Ayahnya. Ardi hanya terdiam dan menarik nafas panjang. Ia kemudian berpindah tempat dengan duduk ditangga. Selang beberapa menit, ia kemudian mengambil motornya dan pergi. Deru motor menghilang ditikungan bersama bayang dirinya siang itu.

Ternyata kepergian itu untuk selamanya. “Saya sedih sekali, saya bertanya ke dia siang itu, mau kemana pa, tapi tidak dijawab dan ia langsung pergi,” kata Wulistilahwati tertunduk.

Tanpa pamitan pada istri dan anak, Ardi pergi tak meninggalkan pesan. Ibunya menangis saat mengenang kisah ini kembali. Istrinya juga lebih banyak berdiam diri dengan kedua anaknya Yudha dan Putri. Hari saat ditemukan setelah menghilang dua hari, Jumat 30 Juli 2010, jenazah Ardiansyah langsung dimakamkan di Yobar Merauke. Penguburan berlangsung dengan diiringi derai air mata keluarga. Yudha tak menangis, ia berdiri diam sambil memegang Kartu Pers JUBI milik ayahnya.

Ardiansyah tewas mengenaskan dalam kondisi mengapung di wilayah Gudang Arang. Polisi Merauke membantah jika telah terjadi tindak kekerasan sebelum tewas. Menurut Polisi, Ardi bunuh diri. “Tapi itu tidak mungkin, kami dari keluarga tidak yakin kalau dia bunuh diri. Dia itu anak saya, saya yakin dia dibunuh orang,” kata Ibu Matra’is.

Akhirnya dua minggu berlalu sejak kepergian Ardiansyah. Wulistilahwati masih menyimpan Kartu Pers itu, juga kumpulan hasil liputan milik almarhum. Kartu pers menjadi kenangan yang tak bisa dilupakannya. Wulistilahwati juga membungkus rapi laptop dan kamera milik almarhum dalam lemari. “Saya tidak akan memberi ini pada siapapun, kartu pers dan barang lainnya menjadi kenangan bagi saya dan anak-anak.” (VHRmedia)