Rivalitas Abadi Dua Merah
Pajak Jadi Pemicu
Six News and Sport --- Bila anda pecinta Liga Inggris anda pasti tahu betul laga derby yang sesungguhnya di EPL. Tentu saja bukan laga Manchester United vs Chelsea atau Liverpool vs Arsenal, ataupun sebaliknya. Namun laga United vs Liverpoool lah yang selalu menyedot perhatian. Bahkan rivalitas kedua klub ini merambah hingga warga kedua kota.
“Saya besar di Liverpool. Ketika saya masih bersekolah dulu, saya ingat betul, bahwa kamu boleh bergurau tentang apa saja, kecuali menyebut seseorang dengan kata ‘manc’ atau orang Manchester. Karena akan berakhir dengan keributan. Bagi orang Liverpool itu adalah kata hinaan yang paling parah.”
Begitulah komentar Finlo Rohrer, salah satu reporter majalah BBC News pada Agustus 2007, kala menulis seputar rivalitas Liverpool-Man.United. Lalu apa sebenarnya yang menjadi pemicu rivalitas warga kota Liverpool-Manchester?
Awalnya hubungan warga kedua kota berlangsung harmonis. Saat itu, Kota Liverpool menjadi sebuah kota pelabuhan yang berkembang pesat, sehingga penduduknya termasuk dalam kelas pekerja (working class). Sementara Kota Manchester yang kala itu masuk kategori kota tertinggal sebagian besar penduduknya hanya hidup dari bekerja sebagai buruh kasar.
Penduduk Liverpool pun mempunyai aksen yang berbeda dari penduduk Manchester. Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka selalu meremehkan warga Kota Manchester ,karena menganggap penduduk Manchester takkan mampu menyaingi mereka.
Memasuki abad ke-20, kota Manchester mulai tumbuh sebagai pusat industri tekstil. Namun bahan baku yang diimpor dari Amerika harus melalui jalur satu-satunya yakni pelabuhan Liverpool. Pemerintah Kota Liverpool kemudian menaikkan pajak yang begitu tinggi untuk komoditi ekspor dan impor. Kenaikan pajak ini dianggap menjadi ancaman bagi pebisnis yang ada di Manchester.
Ide pembangunan kanal Manchester akhirnya muncul sebagai solusi. Terusan yang sangat luas untuk keluar-masuknya kapal memungkinkan semua barang distribusikan langsung tanpa harus melewati pelabuhan Liverpool lagi.
Hal ini membuat warga Liverpool geram dan itulah yang menjadi bibit awal pertentangan warga kedua kota. Warga Liverpool yang dulunya merehkan orang Manchester yang hidup sebagai buruh kasar, terancam kehilangan pekerjaan kantorannya karena pergeseran pusat industri ke Manchester.
Perang Vietnam, Minim Transfer, Hingga Selebrasi Pemain
Sejak saat itu rivalitas kedua kota tersebut terus memanas bahkan permusuhan warga kedua kota hingga ke ranah sepak bola yang diwakili oleh dua tim, Liverpool dan M.United. Pada tahun 1950 hingga 60-an dibawah komando Sir Matt Busby, dan dimotori oleh beberapa pemain yang kini menjadi legenda seperti, Sir Bobby Charlton, George Best, dan Denis Law MU berada dalam periode keemasaanya.
Man.United membuktikan keperkasaannya di tahun 1960-an, saat meraih dua gelar domestik dan menjadi klub Inggris pertama yang berhasil menggondol Piala Champion pada tahun 1968. Hal ini membuat fans “Setan Merah” mengklaim status terbaik pada klub kebanggaan mereka.Namun Liverpool mengambil alih kesuksesan pada tahun 1970-an hinga 1980-an. “The Reds” berhasil meraih empat Piala Champion dan 11 liga gelar domestik. Sementara sang rival harus puasa gelar liga selama 26 tahun. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Walau Liverpool bermandikan ketenaran dan kesuksesan pada saat itu, reputasi dan ketenaran menjulang tetap milik MU. Ini yang membuat Liverpudlian (sebutan untuk pendukung Liverpool) tak terima.
Awalnya perseturuan ini tak melibatkan para punggawa kedua klub. Namun situasi antarpemain mulai memanas pada era 80-an dimana saat itu asisten manajer United kelahiran Liverpool, Ron Atkinson kerap menyebut lawatan ke Anfield, markas “The Reds” tak ubahnya pertempuran Vietnam. Hal yang sama juga terlontar dari pelatih United, Sir Alex Ferguson. Pria Skotlandia yang sukses bersama MU itu mengungkapkan target utamanya adalah merobohkan dominasi Liverpool di lapangan hijau. Ingin tahu seberapa panas rivalitas M.United-Liverpool? Mudah saja, ukurannya hanya transfer perpindahan pemain kedua tim. Sejak tahun 1912 hingga sekarang ini tercatat hanya ada sembilan perpindahan pemain dari MU-Liverpool, atau sebaliknya. Terakhir kali pemain yang berganti kostum adalah Phil Chisnall, gelandang MU itu pindah ke Liverpool dengan transfer sebesar 25 ribu pound pada tahun 1964.
Setelah 43 tahun lamanya tak ada lagi perpindahan pemain dari kedua tim, pada tahun 2007 lalu nyaris saja Gabriel Heinze menjadi pemain eksudos baru. Namun MU lebih memilih menjual bek Argentina itu ke Real Madrid walau disaat yang bersamaan datang tawaran yang lebih besar dari Liverpool. Selain itu panasnya rivalitas kedua klub juga dibumbui sikap kontroversial para pemain. Salah satunya adalah sikap kontroversial Gery Neville yang menuai protes keras pada musim 2006 lalu. Usai Rio Ferdinand mencetak gol tunggal kemenangan MU ke gawang Liverpool, Neville berlari merayakan gol tersebut ke arah tribun pendukung Liverpool.
“Selebrasi itu hanyalah sebuah perayaan kemenangan tanpa bermaksud menghina Liverpool. Supporter mereka sendiri terus menyanyikan lagu hinaan terhadap kami sepanjang pertandingan berlangsung. Begitulah adanya sebuah laga derby dan akan tetap seperti ini selamanya,” kata Neville usai pertandingan.
Hingga saat ini tak ada yang berubah. Rivalitas keduanya terus memanas. Adu gengsi sebagai yang terbaik tetap menjadi pemicu. Maka tak heran jika pertemuan kedua tim ini disebut English’s football greatest rivalry atau rivalitas terpanas dalam sepak bola Inggris. Bahkan kubu MU mengklaim pertemuan mereka dengan pesaing-pesaing lain seperti Chelsea, Arsenal hingga pertarungan dengan tim sekota, Manchester City yang kerap disebut sebagai derby Manchester bukanlah derby yang sesungguhnya. Sebab derby yang sebenarnya bagi MU adalah saat melawan “Si Merah” Liverpool.
MU Tim Yang Paling Dibenci
Dari ke-92 tim yang ada di Football League, MU lah tim yang paling dibenci oleh pendukung Liverpool. Bagi Liverpudlian, boleh saja timnya kalah dari tim lain yang ada di EPL asal jangan United. Mereka sangat tidak terima bila timnya dikalahkan oleh “Iblis Merah” karena supporter Liverpool mengangap itu sama saja dengan membiarkan lawan menginjak-injak harga diri mereka.
Kebencian supporter “The Reds” terhadap MU bahkan melebihi kebencian kepada rival sekota Liverpool, Everton yang juga merupakan salah satu rival abadi mereka.
Bila kita menarik benang merah dari rivalitas kedua tim, maka derby barat laut ini bersandingkan dengan derby Milan-Inter, Barcelona-Madrid, dan Celtic-Ranger. Bedanya derby MU-Liverpool bukanlah berlatar belakang agama atau finansial seperti derby-dery yang lain. Sejak Perang Dunia Kedua, warga kedua kota telah bersaing sengit dalam memperebutkan pengaruh di negeri Ratu Elizabeth itu.
Walau MU-Liverpool silih berganti menjukkan keperkasaan mereka di tahun 1950-an hingga 1980-an, namun memasuki era 90-an MU menjelma menjadi tim yang sangat diperhitungkan semua kontestan EPL dan menjadi tolok ukur kekuatan sepak bola Inggris.
Sejak kedatangan Sir Alex Ferguson pada November 1986 lalu, United benar-benar berada di atas angin. Selain unggul dalam jumlah tropi sejak format Liga Inggris diubah, MU juga telah menyai rekor juara “The Reds” yakni 18 kali. Hebatnya lagi 11 tropi juara MU direbut dalam kurun waktu 16 musim, sejak kompetisi 1993-2009.
Lantas bagaimana persaingan kedua tim menuju tangga juara musim depan. Apakah Liverpool yang akan tertunduk lesu melihat rival abadinya mengangkat tropi juara untuk ke-19 kalinya sekaligus melampaui perolehan tropi juara yang mereka miliki. Ataukah justru sebaliknya? Menarik untuk dinantikan. (Arjuna/Dari Berbagai Sumber)
“Saya besar di Liverpool. Ketika saya masih bersekolah dulu, saya ingat betul, bahwa kamu boleh bergurau tentang apa saja, kecuali menyebut seseorang dengan kata ‘manc’ atau orang Manchester. Karena akan berakhir dengan keributan. Bagi orang Liverpool itu adalah kata hinaan yang paling parah.”
Begitulah komentar Finlo Rohrer, salah satu reporter majalah BBC News pada Agustus 2007, kala menulis seputar rivalitas Liverpool-Man.United. Lalu apa sebenarnya yang menjadi pemicu rivalitas warga kota Liverpool-Manchester?
Awalnya hubungan warga kedua kota berlangsung harmonis. Saat itu, Kota Liverpool menjadi sebuah kota pelabuhan yang berkembang pesat, sehingga penduduknya termasuk dalam kelas pekerja (working class). Sementara Kota Manchester yang kala itu masuk kategori kota tertinggal sebagian besar penduduknya hanya hidup dari bekerja sebagai buruh kasar.
Penduduk Liverpool pun mempunyai aksen yang berbeda dari penduduk Manchester. Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka selalu meremehkan warga Kota Manchester ,karena menganggap penduduk Manchester takkan mampu menyaingi mereka.
Memasuki abad ke-20, kota Manchester mulai tumbuh sebagai pusat industri tekstil. Namun bahan baku yang diimpor dari Amerika harus melalui jalur satu-satunya yakni pelabuhan Liverpool. Pemerintah Kota Liverpool kemudian menaikkan pajak yang begitu tinggi untuk komoditi ekspor dan impor. Kenaikan pajak ini dianggap menjadi ancaman bagi pebisnis yang ada di Manchester.
Ide pembangunan kanal Manchester akhirnya muncul sebagai solusi. Terusan yang sangat luas untuk keluar-masuknya kapal memungkinkan semua barang distribusikan langsung tanpa harus melewati pelabuhan Liverpool lagi.
Hal ini membuat warga Liverpool geram dan itulah yang menjadi bibit awal pertentangan warga kedua kota. Warga Liverpool yang dulunya merehkan orang Manchester yang hidup sebagai buruh kasar, terancam kehilangan pekerjaan kantorannya karena pergeseran pusat industri ke Manchester.
Perang Vietnam, Minim Transfer, Hingga Selebrasi Pemain
Sejak saat itu rivalitas kedua kota tersebut terus memanas bahkan permusuhan warga kedua kota hingga ke ranah sepak bola yang diwakili oleh dua tim, Liverpool dan M.United. Pada tahun 1950 hingga 60-an dibawah komando Sir Matt Busby, dan dimotori oleh beberapa pemain yang kini menjadi legenda seperti, Sir Bobby Charlton, George Best, dan Denis Law MU berada dalam periode keemasaanya.
Man.United membuktikan keperkasaannya di tahun 1960-an, saat meraih dua gelar domestik dan menjadi klub Inggris pertama yang berhasil menggondol Piala Champion pada tahun 1968. Hal ini membuat fans “Setan Merah” mengklaim status terbaik pada klub kebanggaan mereka.Namun Liverpool mengambil alih kesuksesan pada tahun 1970-an hinga 1980-an. “The Reds” berhasil meraih empat Piala Champion dan 11 liga gelar domestik. Sementara sang rival harus puasa gelar liga selama 26 tahun. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Walau Liverpool bermandikan ketenaran dan kesuksesan pada saat itu, reputasi dan ketenaran menjulang tetap milik MU. Ini yang membuat Liverpudlian (sebutan untuk pendukung Liverpool) tak terima.
Awalnya perseturuan ini tak melibatkan para punggawa kedua klub. Namun situasi antarpemain mulai memanas pada era 80-an dimana saat itu asisten manajer United kelahiran Liverpool, Ron Atkinson kerap menyebut lawatan ke Anfield, markas “The Reds” tak ubahnya pertempuran Vietnam. Hal yang sama juga terlontar dari pelatih United, Sir Alex Ferguson. Pria Skotlandia yang sukses bersama MU itu mengungkapkan target utamanya adalah merobohkan dominasi Liverpool di lapangan hijau. Ingin tahu seberapa panas rivalitas M.United-Liverpool? Mudah saja, ukurannya hanya transfer perpindahan pemain kedua tim. Sejak tahun 1912 hingga sekarang ini tercatat hanya ada sembilan perpindahan pemain dari MU-Liverpool, atau sebaliknya. Terakhir kali pemain yang berganti kostum adalah Phil Chisnall, gelandang MU itu pindah ke Liverpool dengan transfer sebesar 25 ribu pound pada tahun 1964.
Setelah 43 tahun lamanya tak ada lagi perpindahan pemain dari kedua tim, pada tahun 2007 lalu nyaris saja Gabriel Heinze menjadi pemain eksudos baru. Namun MU lebih memilih menjual bek Argentina itu ke Real Madrid walau disaat yang bersamaan datang tawaran yang lebih besar dari Liverpool. Selain itu panasnya rivalitas kedua klub juga dibumbui sikap kontroversial para pemain. Salah satunya adalah sikap kontroversial Gery Neville yang menuai protes keras pada musim 2006 lalu. Usai Rio Ferdinand mencetak gol tunggal kemenangan MU ke gawang Liverpool, Neville berlari merayakan gol tersebut ke arah tribun pendukung Liverpool.
“Selebrasi itu hanyalah sebuah perayaan kemenangan tanpa bermaksud menghina Liverpool. Supporter mereka sendiri terus menyanyikan lagu hinaan terhadap kami sepanjang pertandingan berlangsung. Begitulah adanya sebuah laga derby dan akan tetap seperti ini selamanya,” kata Neville usai pertandingan.
Hingga saat ini tak ada yang berubah. Rivalitas keduanya terus memanas. Adu gengsi sebagai yang terbaik tetap menjadi pemicu. Maka tak heran jika pertemuan kedua tim ini disebut English’s football greatest rivalry atau rivalitas terpanas dalam sepak bola Inggris. Bahkan kubu MU mengklaim pertemuan mereka dengan pesaing-pesaing lain seperti Chelsea, Arsenal hingga pertarungan dengan tim sekota, Manchester City yang kerap disebut sebagai derby Manchester bukanlah derby yang sesungguhnya. Sebab derby yang sebenarnya bagi MU adalah saat melawan “Si Merah” Liverpool.
MU Tim Yang Paling Dibenci
Dari ke-92 tim yang ada di Football League, MU lah tim yang paling dibenci oleh pendukung Liverpool. Bagi Liverpudlian, boleh saja timnya kalah dari tim lain yang ada di EPL asal jangan United. Mereka sangat tidak terima bila timnya dikalahkan oleh “Iblis Merah” karena supporter Liverpool mengangap itu sama saja dengan membiarkan lawan menginjak-injak harga diri mereka.
Kebencian supporter “The Reds” terhadap MU bahkan melebihi kebencian kepada rival sekota Liverpool, Everton yang juga merupakan salah satu rival abadi mereka.
Bila kita menarik benang merah dari rivalitas kedua tim, maka derby barat laut ini bersandingkan dengan derby Milan-Inter, Barcelona-Madrid, dan Celtic-Ranger. Bedanya derby MU-Liverpool bukanlah berlatar belakang agama atau finansial seperti derby-dery yang lain. Sejak Perang Dunia Kedua, warga kedua kota telah bersaing sengit dalam memperebutkan pengaruh di negeri Ratu Elizabeth itu.
Walau MU-Liverpool silih berganti menjukkan keperkasaan mereka di tahun 1950-an hingga 1980-an, namun memasuki era 90-an MU menjelma menjadi tim yang sangat diperhitungkan semua kontestan EPL dan menjadi tolok ukur kekuatan sepak bola Inggris.
Sejak kedatangan Sir Alex Ferguson pada November 1986 lalu, United benar-benar berada di atas angin. Selain unggul dalam jumlah tropi sejak format Liga Inggris diubah, MU juga telah menyai rekor juara “The Reds” yakni 18 kali. Hebatnya lagi 11 tropi juara MU direbut dalam kurun waktu 16 musim, sejak kompetisi 1993-2009.
Lantas bagaimana persaingan kedua tim menuju tangga juara musim depan. Apakah Liverpool yang akan tertunduk lesu melihat rival abadinya mengangkat tropi juara untuk ke-19 kalinya sekaligus melampaui perolehan tropi juara yang mereka miliki. Ataukah justru sebaliknya? Menarik untuk dinantikan. (Arjuna/Dari Berbagai Sumber)
0 komentar:
Posting Komentar