Darimana Senjata Gerombolan Perampok (Teroris) Itu
Kejadian yang terakhir itu berlangsung justru ketika aparat kita sedang siaga penuh mengawasi gerakan kelompok perampok Medan. Hebatnya mereka beraksi dengan senjata serbu seperti M16 dan AK-47.
Seperti ditunjukkan para penyerang Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Hamparan Perak Deli Serdang, Sumatera Utara pekan lalu, menyisakan pertanyaan penting asal-usul senjata kelompok itu.
Sebelumnya, polisi menembak mati tiga orang diduga pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Medan, yang menggasak bank itu pada Agustus lalu. Para perampok itu diburu sebulan lebih, dan diduga punya kaitan aksi pelatihan teror di Aceh.
Seakan aksi balas dendam, Mapolsek Hamparan Perak dihajar balik oleh gerombolan bersenjata. Tiga polisi tewas, lainnya luka berat. Dari keterangan saksi, diduga pelaku memakai senjata mirip saat perampokan bank di Medan itu. “Mereka pakai AK47, SS1 dan M16,” ujar juru bicara Mabes Polri Irjen Iskandar Hasan.
Darimana mereka memperoleh senjata serbu seperti itu? Itulah yang menjadi pertanyaan besar selama ini. Laporan dari International Crisis Group menyebutkan bahwa sebagian senjata yang beredar di masyarakat bersumber dari gudang senjata polisi yang dibobol oleh anggota polisi sendiri. Pembobolan itu antara lain terjadi di gudang senjata Brimob di Lembang, Bandung.
Selain dari gudang, menurut laporan ICG, senjata juga diperoleh dari jalur perdagangan internasional. Dari Philipina hingga Thailand. ICG menelusuri kelompok yang disebut sebagai sebagai jalur Phuket, rute belanja tradiosional Gerakan Aceh Merdeka (GAM) semenjak 1976.
Senjata juga bisa diperoleh dari Cipacing, perajin senapan angin tradisonal di Sumedang, Jawa Barat. Sejumlah sumber menyebutkan bahwa mereka lazim membeli laras afkiran dari PT Pindad di Bandung.
Manajemen PT Pindad membantah keras. Menurut Direktur Pindad Adi A Soedarsono, barang afkiran itu tak mungkin lolos keluar sebab semua karyawan saban hari diperiksa ketat saat keluar dari perusahaan itu. PT Pindad menjamin senjata SS-1 (Senapan Serbu-1) yang digunakan para teroris untuk menyerang Markas Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara bukanlah senjata yang diselundupkan dari Pabrik Pindad langsung dari Bandung.
"Kalau dari Pindad ada tulisan Pindad Indonesia, tiap senjata memiliki nomor registrasi. Berikan nomor registrasinya kepada saya maka senjata itu dapat dilacak," kata Direktur PT Pindad Adik A Soedarsono.
"Kami memproduksi ribuan senjata setiap hari. Antar komponen senjata SS-1 tidak bisa dikanibal. Sehingga menjamin tidak ada karyawan Pindad yang mampu merakit senjata SS-1 di luar Pindad," ucapnya.
Selain itu, Pindad menjamin senjata yang dijual ke masyarakat sipil semuanya dilengkapi surat resmi dari Perbakin dan Mabes Polri.
Adik mengakui kalau setiap karyawan Pindad memiliki kemampuan untuk merakit senjata. Tapi untuk merakit senjata SS-1 dan SS-2 tidaklah mungkin karena membutuhkan teknologi tinggi untuk membuat senjata SS-1 dan SS-2.
Adik menduga senjata SS-1 yang digunakan para penyerang di Sumatera Utara didapat dari rampasan perang anggota TNI yang tewas selama konflik Aceh. Jika begitu, maka Pindad tidak bertanggung jawab atas beredarnya senjata SS-1.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Iskandar Hasan, mengaku mengawas ketat setiap tempat yang diduga memproduksi senjata api ilegal. “Intelegen kami, Polres hingga Polsek mengawasinya secara ketat,”katanya. Tidak semua polisi, lanjutnya, boleh memegang senjata. Mereka harus melewati serangkaian tes, termasuk kejiwaan.
Markas Besar Polri menduga senjata-senjata laras panjang yang digunakan gerombolan teroris dalam melakukan aksinya berasal dari daerah konflik. Ada pula senjata-senjata sisa konflik Aceh saat konfrontasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
"Saya pernah menjadi Kapolres Aceh Utara. Dulu GAM membeli senjata Rp 30 juta sampai Rp 40 juta," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Iskandar Hasan.
Menurut Iskandar, ada kemungkinan salah satu faktor tidak dikembalikannya senjata sisa GAM karena faktor ekonomi. Karena itu, butuh pendekatan khusus agar sisa-sisa senjata pasca-konflik itu bisa dikembalikan. Sehingga tidak terjadi lagi kasus penyerangan Polsek Hamparan Perak dengan menggunakan senjata SS1, M16, pistol, dan AK47.
Selain dari sisa konflik di Aceh, Iskandar menduga masih ada jalur-jalur lain masuknya senjata ilegal ke Indonesia. Bisa pula dari kasus Poso, Ambon. Ada pula kemungkinan masuknya senjata itu dari konflik di luar negeri.
"Tahun 2005 sampai 2006 saya pernah ke Thailand Selatan. Jadi senjata-senjata dari negara yang selesai konflik tadi itu dimanfaatkan oleh mereka untuk diperdagangkan," jelas Iskandar.
Menurut Iskandar, senjata itu juga bisa diperoleh dari Filipina Selatan masuk melalui Sulawesi Utara dan Kalimantan Timur. Di daerah barat, masuk melalui Medan dan Aceh. Masuknya dari pelabuhan-pelabuhan tikus, bukan pelabuhan resmi.
"Nah, itu tempat-tempat yang kita kategorikan menjadi tempat masuknya senjata ilegal," jelas dia. (Sumber: VIVAnews)
0 komentar:
Posting Komentar