Polemik DIY Tak Ada, Jika SBY Tak Komentar
"Sayang seribu sayang, Presiden pada waktu itu khilaf. Tapi itu haknya presiden," kata Paloh di sela deklarasi Nasdem DKI Jakarta, Minggu 12 Desember 2010. "Konsekuensinya jadi polemik."
Sebenarnya, kata dia, Presiden bisa mengatur secara diam-diam masalah dalam RUU Keistimewaan Yogyakarta dengan DPR. Namun, Paloh tak mau memberikan komentar seputar polemik karena akan menjadi subjektif. Sri Sultan Hamengku Buwono X yang posisinya sebagai gubernur menjadi bagian dari polemik tersebut, adalah pengurus di Nasdem.
Paloh hanya meminta agar polemik ini dihentikan. Nasdem, kata dia, tidak akan menyatakan setuju atau tidak dengan RUU yang kini masih digodok pemerintah itu. "Pentingkan persatuan. Tidak boleh ada perpecahan."
Seperti diberitakan sebelumnya, pernyataan Presiden SBY mengenai kerajaan atau monarki yang tidak boleh menabrak UUD 1945 menimbulkan reaksi sejumlah warga Yogyakarta.
Hal ini makin diperparah dengan bocoran RUU Keistimewaan Yogyakarta. Pemerintah ingin agar Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dipilih, meski dengan jaminan keistimewaan keraton.
Hal ini makin memicu reaksi penolakan karena pengaturan itu berbeda dengan apa yang selama ini berjalan di Yogyakarta, bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
Puncaknya, adik Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo dari Partai Demokrat.
Presiden SBY dalam jumpa pers 3 Desember lalu menegaskan bahwa statmentnya soal RUUK DIY itu telah dengan sengaja digeser menjadi konflik antara dirinya dengan Sultan.
Padahal menurut SBY, tidak sepatah kata pun dalam statementnya yang menyebutkan gubernur DIY dipilih atau ditetapkan. Dia menegaskan bahwa ada tiga pilar penting yang digariskan dalam RUU itu. (VIVAnews.com)
0 komentar:
Posting Komentar